catatan

Senin, 21 Februari 2011

Puasa Hari Kelahiran & Larangan Pengkhususan Puasa Hari Jum'at, Hukum Puasa Asyura Dan Apa Puasa Wishal Itu ?

Rasulullah SAW sering berpuasa sunnah di hari Senin. Dan salah satu alasannya adalah karena hari itu adalah hari di mana beliau dilahirkan ke muka bumi.

Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab, "Itu hari kelahiranku dan diturunkan wahyu." (HR Muslim dan Ahmad)

Namun apakah hal yang sama juga berlaku buat umatnya, yakni disunnahkan berpuasa di hari kelahiran, tentu menjadi perdebatan panjang para ulama.

Mengingat Rasulullah SAW adalah pembawa risalah resmi dari Allah SWT. Ketika beliau melakukan ritual ibadah, alasan yang beliau kemukakan tentu sangat terkait dengan diri beliau sendiri.

Artinya, kalau beliau SAW sering berpuasa di hari Senin karena beliau lahir di hari itu, lantas puasa sunnah disyariat di hari itu, maka kesimpulan hukumnya adalah kita disyariatkan untuk berpuasa di hari kelahiran beliau, bukan di hari kelahiran kita sendiri.

Sebab yang lahir di hari Senin itu bukan seorang Muhammad sebagai seorang anak dari manusia, melainkan yang lahir adalah seorang utusan Allah. Maka kita berpuasa di hari kelahiran seorang utusan Allah, bukan di hari kelahiran diri kita sendiri.

Apalagi hadits di atas masih diteruskan bahwa di hari Senin itu turun wahyu. Berarti topik hadits itu adalah keutamaan hari Senin, bukan keutamaan hari kelahiran tiap manusia.

Apa utamanya jika kita berpuasa di hari kelahiran kita sendiri? Apa istimewanya diri kita sehingga ada syariat di mana kita disunnahkan untuk berpuasa di hari kelahiran diri sendiri?

Dan kalau kita menengok praktek para shahabat nabi yang mulia, kita tidak menemukan bahwa mereka masing-masing sibuk berpuasa di hari kelahiran mereka. Yang mereka lakukan adalah berpuasa di hari kelahiran nabi Muhammad SAW, yaitu hari Senin.

Di sinilah fungsi para shahabat, yaitu untuk dijadikan perbandingan dalam mengikuti sunnah Rasulullah SAW. Kita memang diharuskan mengikuti sunnah Rasulullah SAW, namun terkadang kita seringkali salah duga dan salah kira. Maka praktek para shahabat nabi SAW bisa dijadikan guide pembanding, seperti apakah seharusnya ibadah yang kita lakukan dalam rangka mengikuti nabi Muhammad SAW? Maka kita lihat praktek para shahabat nabi SAW.

Karena itu, beliau SAW pun tidak lupa untuk memerintahkan kita untuk selain mengikuti praktek nabi, juga mengikuti praktek ibadah dari para shahabatnya itu.

Puasa di Hari Jumat

Oleh

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa alasan dilarangnya pengkhususan hari Jum’at untuk berpuasa ? Apakah termasuk juga puasa pengganti (pembayaran hutang puasa) ?

Jawaban.

Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

“Artinya : Janganlah kalian mengkhususkan puasa pada hari Jum’at, kecuali jika berpuasa sehari sebelum atau setelahnya” [Ditakhrij oleh Muslim : Kitabush Shaum/Bab Karahiatu Shiyam Yaumul Jum'ah Munfaridan (1144)]

Hikmah dalam larangan pengkhususan hari Jum’at dengan puasa adalah bahwa hari Jum’at merupakan hari raya dalam sepekan, dia adalah salah satu dari tiga hari raya yang disyariatkan ; karena Islam memiliki tiga hari raya yakni Idul Fitri dari Ramadhan, Idul Adha dan Hari raya mingguan yakni hari Jum’at. Oleh sebab itu hari ini terlarang dari pengkhususan puasa, karena hari Jum’at adalah hari yang sepatutnya seseorang lelaki mendahulukan shalat Jum’at, menyibukkan diri berdoa, serta berdzikir, dia serupa dengan hari Arafah yang para jama’ah haji justru tidak diperintahkan berpuasa padanya, karena dia disibukkan dengan do’a dan dzikir, telah diketahui pula bahwa ketika saling berbenturan beberapa ibadah yang sebagiannya bisa ditunda maka lebih didahulukan ibadah yang tak bisa ditunda daripada ibadah yang masih bisa ditunda.

Apabila ada orang yang berkata, “Sesungguhnya alasan ini, bahwa keadaan Jum’at sebagai hari raya mingguan seharusnya menjadikan puasa pada hari itu menjadi haram sebagaimana dua hari raya lainnya (Fitri dan Adha) tidak hanya pengkhususannya saja”.

Kami katakan, “Dia (Jum’at) berbeda dengan dua hari raya itu ; sebab dia berulang di setiap bulan sebanyak empat kali, karena ini tiada larangan yang berderajat haram padanya, selanjutnya di sana ada sifat-sifat lain dari dua hari raya tersebut yang tidak didapatkan di hari Jum’at.

Adapun apabila dia berpuasa satu hari sebelumnya atau sehari sesudahnya maka puasanya ketika itu diketahui bahwa tidak dimaksudkan untuk mengkhususkan hari Jum’at dengan puasa ; karena dia berpuasa sehari sebelumnya yaitu Kamis atau sehari sesudahnya yaitu hari Sabtu.

Sedangkan soal seorang penanya, “Apakah larangan ini khusus untuk puasa nafilah (sunah) atau juga puasa Qadha (pengganti hutang puasa) ?

Sesungguhnya dhahir dalilnya umum, bahwa makruh hukumnya mengkhususkan puasa sama saja apakah untuk puasa wajib (qadla) atau puasa sunnah, -Ya Allah-, kecuali kalau orang yang berhutang puasa itu sangat sibuk bekerja, tidak pernah longgar dari pekerjaannya sehingga dia bisa membayar hutang puasanya kecuali pada hari Jum’at, ketika itu dia tidak lagi makruh baginya untuk mengkhususkan hari Jum’at untuk berpuasa ; karena dia memerlukan hal itu.

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah puasa Wishal itu? Apakah puasa itu termasuk diperintahkan ?

Jawaban

Puasa wishal adalah apabila seseorang berbuka selama dua hari lalu menyambung (melangsungkan) puasa dua hari secara berturut-turut. Sungguh Rasulullah Shallallahu รข€˜alaihi wa sallam telah melarang perbuatan ini, beliau bersabda :

Artinya : Barangsiapa yang ingin menyambung puasa maka hendaklah dia menyambung puasa sampau sahur saja [Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum. Bab Wsihal (menyambung puasa) sampai sahur 19670)]

Orang yang menyambung puasa sampai sahur termasuk bab kebolehan, tetapi tidak termasuk dianjurkan, Rasul Shallallahu alaihi wa sallam menganjurkan untuk menyegerakan berbuka, beliau bersabda.

Artinya : Tidak henti-hentinya manusia dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka puasa

Akan tetapi mereka diperbolehkan untuk menyambung puasa sampi sahur saja, tatkala para sahabat bertanya :

Wahai Rasulullah ! sesungguhnya engkau menyambung puasa. Beliau menjawab :

Sesungguhnya keadaanku tidak sebagaimana keadaan kalian[Ditakhrij oleh Al-Bukhari dalam Kitabush Shaum/Bab Barakatus Sahur fie ghairi ijab 1922 dan Muslim dalam Kitabus Shaum/Bab An-Nahyu anil wishal 1102]

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya berpuasa pada bulan Syaban ?

Jawaban

Berpuasa pada bulan Syaban adalah sunah, memperbanyak puasa di bulan itu juga merupakan sunah sampai-sampai Aisyah Radhiyallahu ˜anha bertutur:

Aku tidak pernah melihat beliau (Nabi) berpuasa lebih banyak daripada di bulan Syaban [Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Shaum, Bab Puasa Syaban 1969]

Sebaikny memperbanyak puasa di bulan Syaban menurut hadits ini.

Para ulama berkata : Puasa di bulan Syaban sebagaimana sunat rawatib bagi lima shalat fardhu, seolah-olah dia mendahului puasa Ramadhan, maksudnya seakan-akan dia menjadi rawatibnya bulan Ramadhan. Karena itu sunnah puasa di bulan Syaban dan sunah puasa enam hari di bulan Syawal seperti rawatib sebelum shalat wajib dan sesudahnya.

Dalam puasa di bulan Syaban terdapat manfaat yang lain yakni mempersiapkan diri dan menyiagakannya untuk berpuasa agar dirinya menjadi siap mengerjakan puasa Ramadhan, menjadi mudah baginya untuk menunaikannya.

Pertanyaan

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah hukumnya puasa Asyura?

Jawaban.

Tatkala Nabi Shallallahu˜alaihi wa sallam datang ke Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari kesepuluh bulan Muharram, Nabi Shallallahu ˜alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian!, lalu beliau mengerjakan puasa pada hari itu dan memerintahkan muslimin untuk berpuasa padanya [Diriwayatkan oleh Bukhari : Kitab Shaum/Bab Puasa Hari Asyura 2004. Muslim Kitab Syiyam/Bab Puasa Hari Asyura 1130]

Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas Radhiyalahu˜anhuma yang disepakati keshahihannya bahwa Nabi Shallallahu˜alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan menyuruh untuk berpuasa padanya. Ditanyakan kepada beliau tentang keutamaan puasa hari itu, beliau Shallallahu ˜alaihi wa sallam menjawab :

Artinya : Aku mengharap kepada Allah untuk menghapuskan dosa setahun yang sebelumnya [Diriwayatkan oleh Muslim : Kitab Shiyam/Bab Disukainya berpuasa tiga hari tiap bulan atau puasa di hari Arafah 1162]

Akan tetapi Rasul Shallallahu˜alaihi wa sallam sesudah itu memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi dengan berpuasa satu hari sebelumnya yakni tanggal 9 Muharram atau satu hari sesudahnya yakni tanggal 11 Muharram.

Atas dasar itu, yang paling utama adalah berpuasa pada hari kesepuluh (10 Muharram) lalu merangkaikan satu hari sebelumnya, atau satu hari sesudahnya. Tambahan di hari kesembilan lebih utama daripada hari kesebelas.

Sebaiknya engkau, wahai saudaraku muslim, berpuasa hari Asyura, demikian juga hari kesembilan Muharram

[Majmu Fatawa Arkanul Islam edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Pustaka Arafah]

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/1947/slash/0

1 komentar: